Headlines News :
Home » » Level 42 - Love Games

Level 42 - Love Games

>

MARK King, raja bas dari kelompok musik Inggris, Level 42, datang lagi ke Indonesia. Bersama Level 42, King pernah menggelar konser di Jakarta pada tahun 1989. Band pembawa musik jenis jazz funk bentukan tahun 1980 itu sebenarnya telah bubar pada tahun 1994. Setahun lalu, King menghidupkan lagi Level 42 dengan formasi baru. King tetap menjadi pilar kelompok tersebut sebagai pemain bas, sekaligus vokalis utama.
“Mungkin saya hanya bertambah tua. Tetapi, rasanya main band sekarang ini kami merasa mendapat banyak tenaga dan semakin menyenangkan saja,” kata King yang ditemui Kompas, Jakarta Post, dan Suara Pembaruan di Hotel Hilton, Jakarta, Selasa (17/6) siang.

Level 42 kali ini dikawal pemain baru, yaitu Nathan King, adik Mark King yang memainkan gitar, Lyndon Connah (keyboards), Gary Husband (drum), dan Dean Freeman (saksofon). King masih menunjukkan diri sebagai seniman bas yang oleh majalah Bass Player disebut sebagai salah seorang tokoh penting di dunia bas pada abad kedua puluh.

King bersama Level 42 akan bermain dalam konser bertajuk “Star Mild Music Level 42″ yang digelar Buena Produktama di lapangan tenis tertutup Senayan, Jakarta, Selasa malam. Konser serupa juga digelar di Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali.
Mark King, yang pada tahun 1987 digelari sebagai pemain bas terbaik versi majalah Making Music, dikenal sebagai salah seorang raja dalam permainan bas dengan gaya slap. Dia memainkan bas dengan cara tidak memetik dawai, melainkan memukul-mukul dawai bas dengan jempol. Setiap kali mendemonstrasikan slap style, penonton memberi tepuk sorak panjang. Misalnya ketika King membawakan lagu kondang Love Games, Sun Goes Down, atau Lessons in Love. Karena jempol dahsyatnya itu, King pernah disebut sebagai “Royal Thumbslinger”.

King “Si Jempol Maut” itu naik ke pentas membawa bas dengan ruas-ruas atau fret bas yang menyala. Di tangan King, bas itu mengeluarkan bunyi-bunyi yang perkusif, bunyi mengentak dan berdentam-dentam yang lazim keluar dari alat musik pukul. Cita suara serupa itu memang menjadi salah satu ciri jenis musik jazz funk yang dimainkan Level 42.
Saat tampil, jempol kanan King tampak diplester. Itu bukan karena luka, tetapi sebagai pelindung agar tidak lecet saat jempol diadu dengan dawai bas yang terbuat dari bahan berunsur logam. King sengaja melapisi jempolnya dengan plester, karena dulu, pada awal karier Level 42, jempol itu pernah berdarah-darah saat dia tampil dalam konser di Belanda. Darah berlelehan dan konser terpaksa ditunda beberapa saat.
King awalnya merasa kagok bermain bas dengan jempol di plester, tetapi dia kemudian menjadi terbiasa.

King mengaku, riwayat suara bas yang perkusif itu sebagian merupakan efek kemampuannya sebagai pemain drum. Sebelum bergabung dengan Level 42, King adalah pemain drum dari band lokal di kampung halamannya di Isle of Wight, Inggris. Ketika bergabung dengan Level 42, kelompok itu mempunyai Phil Gould, pemain drum yang kata King lebih baik dari dia. “Jadi, serasa saya main drum saat memainkan bas,” kata King dalam sebuah wawancara. KING menjadi tokoh sentral Level 42 yang dibentuk di London pada tahun 1980 dengan formasi awal Mike Lindup pada keyboards, Boon Gould (gitar), dan Phil Gould (drum).
Mereka memainkan jazz funk, jenis musik yang rancak dan cerah, dan biasanya bertempo cepat. Jazz funk juga banyak digemari di Indonesia dan kemudian melahirkan band yang mencoba bergaya funk semisal Funk Section.

Jika melacak pengaruh, King mengakui, musik yang dimainkan Level 42 berhulu dari pengaruh Miles Davis (1926-1991). Miles adalah peniup trompet jazz yang menjadi tokoh penting dalam perkembangan jazz. Miles yang terus bereksplorasi hingga akhir hayatnya bermula dari era jazz bebop tahun 1940-an bersama Charlie Parker dan Dizzy Gillespie. Dia kemudian turut membidani cool jazz, dan kemudian ikut melahirkan jazz fusion.

“Kami mendapat banyak pengaruh dari jazz, dan Miles adalah pengaruh utama,” kata King yang saat ditemui menghabiskan sebotol besar air mineral. King tidak mau menyebutkan usianya ketika ditanya.
Dia mengaku tidak secara langsung terpengaruh musik Miles, tetapi setiap musisi yang dikagumi King selalu saja pernah terlibat dengan musik Miles Davis. King menyebut deretan panjang musisi, seperti John McLaughlin dari Mahavishnu Orchestra, Herbie Hancock, Tonny Williams, Chick Corea, Billy Cobham, Wayne Shorter, Joe Zawinoel, dan pemain bas Jaco Pastorius.
“Bisa panjang deretan musisi yang terpengaruh Miles. Mereka membentuk semacam pohon keluarga. Setiap musisi yang saya kagumi itu pernah bekerja dengan Miles. Dari fakta itu saja, mungkin Level 42 terpengaruh bukan dari sisi musik, tetapi spirit,” tutur King.

PETA belantika musik telah banyak berubah. King masih sempat mengikuti perkembangan musik mutakhir, termasuk melalui lagu-lagu yang sering didengar anak-anaknya. King adalah bapak empat anak berusia 20 tahun dan 17 tahun serta ada yang masih berusia 6 tahun dan 4 tahun.
“Musik sekarang sudah menjadi sesuatu yang dimanufakturkan. Musik ditentukan oleh orang yang bukan musisi. Musik juga diatur oleh media. Bakat-bakat baru yang muncul terkesan instan saja,” komentar dia.
Muncul kembali bersama Level 42 formasi baru di era MTV ini, King merasa tidak gamang menghadapi publik muda. Di Eropa, misalnya, konser Level 42, kata dia, didatangi banyak penggemar muda. Di Jakarta, penonton konser Level 42 kebanyakan berusia 30-40 tahun. Ketika mereka remaja, atau beranjak dewasa, Level 42 sedang jaya di radio.
“Ketika Level 42 memulai pada tahun 1980-an, orang melihat musik kami sebagai musik alternatif yang tidak mengikuti zaman. Sekarang orang masih melihat kami memainkan musik alternatif. Namun, ini alternatif dari musik-musik sampah yang kini banyak di pasaran,” kata King.

Level 42 menghasilkan 17 album dan mampu menjual jutaan album dalam 14 tahun karier. King memutuskan untuk “setengah pensiun” selama delapan tahun. Dia kembali ke kampung halamannya di Isle of Wight yang, kata King, merupakan tempat yang indah dan nyaman. Sesekali dia tampil tunggal di Jazz Cafe, London.
“Kami telah lama bermain dan situasi musik telah banyak berubah. Generasi baru musisi dan publik pun bermunculan. Kami berpikir saat itu sudah waktunya bagi kami untuk berhenti. Saya kembali ke Isle Wight dan menikmati sekali tinggal di rumah.
Saya juga menambah anak, menjadi bapak rumah tangga yang mengasuh dan mendidik anak-anak” katanya sambil tertawa.

Mengapa King membangkitkan kembali Level 42 setelah delapan tahun absen? “Saya merasa ini merupakan saat yang tepat untuk melakukannya!”
Pada konser di Jakarta, Mark King tampak sebagai “pensiunan” bintang yang menikmati hidupnya dengan kemampuan bermusik yang masih terjaga. Sementara sebagian penonton boleh jadi bernostalgia dengan era tahun 1980-an kala mereka lebih muda dari hari ini. Lihatlah di Senayan, mereka berjingkrak-jingkrak dalam lagu Lessons in Love atau Love Games yang dimainkan Level 42 di bawah komando jempol bas Mark King.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Created Blog | Blog Template | OK Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Blog Info-4U - All Rights Reserved